Tribun News.com, Jakarta – Khairul Fahmy, pengamat dan salah satu pendiri Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyoroti kritik media asing Inggris, The Economist, dalam artikel tentang diplomasi Presiden Prabowo Subiano di luar negeri. .
Prabowo menyebutnya “putus asa” karena mempertanyakan arah kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo juga disebut bisa kehilangan jati diri sebagai negara netral dan mandiri.
Menurut Fahmy, redaksi The Economist mempunyai pandangan sempit terhadap judul tersebut karena kunjungan Prabowo ke beberapa negara justru menunjukkan kemampuan Indonesia dalam memperkuat posisinya di kancah dunia.
Fahmy mengatakan kepada wartawan, Rabu (4/12/2024), “Meskipun kritik ini patut dipertimbangkan, saya merasa penyelidikan ini sama sekali tidak dapat dibenarkan.”
“Hal ini bersifat sempit dan mengabaikan fakta bahwa diplomasi Prabowo sebenarnya merupakan pendekatan pragmatis dan fleksibel yang didasarkan pada pengalaman Indonesia dan kebutuhan untuk memperkuat posisinya di dunia, yang terus berkembang.”
Fahmy menilai kunjungan Prabowo ke beberapa negara di awal masa jabatannya memang menarik perhatian. Pasalnya kunjungannya ke lima negara, termasuk pertemuannya dengan Sekjen PBB, sangat menunjukkan keinginan Indonesia untuk mempererat hubungan sebagai warga global.
“Hal ini tidak hanya menunjukkan keinginan Indonesia untuk memperkuat hubungan internasional, tetapi juga menyoroti kedalaman pengalaman diplomasi,” jelasnya.
Menurut Fahmy, tidak adil juga jika kita mengkritik Prabowo yang terlalu percaya diri dan tidak mendapat nasehat dari penasihatnya. Ia menilai, dengan latar belakangnya, Prabowo punya kekuatan yang cukup untuk ikut serta dalam dinamika politik internasional.
“Prabovo Subiano bukanlah orang baru dalam dunia diplomasi dan politik internasional, beliau merupakan mantan jenderal pasukan khusus,” jelas Fahmy.
“Sebagai seseorang yang sudah lama terlibat dalam berbagai gerakan politik dalam negeri, keputusan memimpin delegasi Indonesia dalam kunjungan ke luar negeri tidak diambil secara tergesa-gesa,” imbuhnya.
Selain itu, Fahmy juga mengingatkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia yang independen dan aktif merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan dalam mempertimbangkan diplomasi Indonesia.
“Salah satu aspek yang sering diabaikan dalam kritik terhadap kunjungan luar negeri ini adalah bahwa di bawah kepemimpinan Prabowo, Indonesia berupaya menjaga keseimbangan hubungan luar negeri yang sehat,” tambah Fahmy.
Ia juga menegaskan, kebijakan luar negeri yang independen dan aktif bukan berarti Indonesia menghindari konflik atau tidak mengambil sikap terhadap isu-isu besar global. Sebaliknya, kebijakan ini menekankan agar Indonesia tidak terlibat dalam konflik politik internasional antar negara besar.
Fahmy mengatakan, diplomasi yang dilakukan Prabowo, termasuk berbagai pertemuan dengan pejabat dunia, dan aksinya mengikuti berbagai forum internasional, Indonesia untuk memperjuangkan “kepentingan nasional di berbagai belahan dunia” merupakan wujud tekad yang nyata.
Ketua PCO Hassan Nasbi sebelumnya mengkritik The Economist. Ia mengatakan, media asing diselimuti kabut superioritas di dunia Barat.
“Sepertinya mereka tidak melihat kekejaman dan genosida sedang terjadi di Palestina,” kata Hassan di Instagram @hasan_nasbi.
Ia juga menilai The Economist terjebak dalam perspektif media Barat yang membuat sulit memahami diplomasi negara-negara di kawasan Timur yang ingin berteman dengan seseorang.
“Mereka ingin menerapkan logika biner. “Kalau berteman dengan RRT, tidak bisa berteman dengan AS, begitu pula sebaliknya,” ujarnya.