geosurvey.co.id, JAKARTA – Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintahan baru yang dipimpin Presiden terpilih Prabow Subianto menjaga industri pariwisata tetap kuat.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi industri pariwisata saat ini adalah keberadaan online travel agency (OTA) asing yang beroperasi tanpa bentuk usaha tetap (POR) di Indonesia.
Menurutnya, situasi ini merugikan sektor akomodasi di Indonesia karena OTA luar negeri tidak membayar pajak dan menggunakan sistem paritas yang membatasi harga jual hotel.
“OTA luar negeri ini tidak ada NPWP, sehingga industri dalam negeri akhirnya harus menanggung pajak 20%. Ini beban yang sangat besar,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis, 17 Oktober 2024.
Dia menjelaskan, OTA asing tersebut tidak membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen, seperti yang disyaratkan penyedia jasa di Indonesia. Dalam aturan akomodasi perjalanan, komisi yang diterima OTA luar negeri, misalnya 18 persen, harus dikenakan PPN.
Sama dengan komisi 1,1%. Dikatakannya, hal ini dikarenakan OTA asing tersebut tidak memiliki AMPAK sehingga mengakibatkan pajaknya tidak terbayar pada akhirnya dan dibebankan ke pihak hotel.
Tidak jarang hotel mengeluh bahwa OTA asing melanggar perjanjian kontrak. Ketika masa kontrak antara pihak hotel dan OTA berakhir, maka kamar hotel tersebut dijual kembali melalui platform tanpa persetujuan pihak hotel, yang tentunya merugikan pihak hotel dari segi bisnis dan reputasi.
Belum lagi OTA luar negeri yang menggunakan strategi ‘bakar uang’ dengan memberikan diskon besar-besaran untuk menarik pelanggan. Meskipun hal ini tampak menguntungkan bagi wisatawan, pada kenyataannya skema ini merugikan pendapatan hotel lokal dan penyedia layanan pariwisata.
“OTA asing ini mematok harga yang sangat rendah untuk aplikasinya, sehingga hotel terpaksa mengikuti mereka,” ujarnya.
Menurutnya, strategi tersebut akan berdampak jangka panjang terhadap keberlangsungan usaha lokal di sektor pariwisata. Selain itu, mereka juga menggunakan parity rate yang mencegah hotel menjual dengan harga lebih rendah dari yang mereka tetapkan.
“Kami tidak punya pilihan karena mereka menguasai pasar digital,” ujarnya. Tarif ke Peshawar masih tinggi
PHRI juga mencontohkan tingginya harga tiket pesawat yang menghambat pergerakan wisatawan domestik. Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau sangat bergantung pada transportasi udara untuk mempercepat arus orang dan barang.
Tingginya harga tiket pesawat sangat mengkhawatirkan. Seharusnya pemerintah menilai permasalahan ini, karena mobilitas wisatawan menjadi kunci suksesnya program pariwisata dalam negeri, jelas Maulana.
Ia menegaskan, pemerintah ke depan harus lebih memperhatikan perlindungan industri pariwisata. Peraturan yang tumpang tindih dan biaya perizinan yang mahal harus diatasi agar sektor pariwisata dapat bersaing di kancah global.
Ia juga berharap Kementerian Pariwisata dapat menjadi payung bagi industri yang tidak hanya fokus pada promosi, namun juga memperhatikan situasi di industri.
“Regulasi harus menjadi yang terdepan dalam program 100 hari pemerintah baru dan Kemenpar harus lebih dari sekedar promosi. Industri harus sehat dulu untuk menarik wisatawan dan mengembangkan destinasi,” tutupnya.