Laporan khusus reporter geosurvey.co.id, Abdi Ryanda Shakti
geosurvey.co.id, JAKARTA – Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan langkah dua warga Jakarta yang menggugat aturan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan mereka tidak beragama, sehingga ada kolom non-agama di dalamnya. Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Raymond Kamil (pemohon I) dan Indra Syahputra (pemohon II) mengajukan permohonan pengujian terhadap isi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kependudukan (UU Adminduk) tentang biografi penduduk. Itu yang dikandungnya. Informasi agama atau kepercayaan pada KK dan (KTP).
Pemohon ingin kolom agama diisi dengan kata “tidak beragama”.
Teguh Sugiharto, kuasa hukum pemohon, mengatakan, “Sebenarnya mereka tidak memegang salah satu dari tujuh pilihan tersebut dan orang yang tidak beragama terpaksa berbohong atau tidak diperlakukan,” kata Teguh Sugiharto, kuasa hukum pemohon, merujuk pada teks dari situs Mahkamah Konstitusi RI, Kamis, November. 7 2024.
Pak Raymond Kamil masih memperjuangkan hak konstitusionalnya untuk menuntut agar warga negara Indonesia diperbolehkan hidup tanpa agama.
Mengenakan kemeja kotak-kotak biru dan celana hitam, Raymond dan pengacaranya Teguh Sugiharto kembali ke Gedung Konstitusi, di Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin, 4 November 2024.
Sore itu, pukul 14.30 WIB, Raymond dan Teguh datang bersama tiga anggota Persatuan Wali Pancasila Khatulistiwa (Galaruwa) sebagai rekanan dalam sidang Nomor 146/PUU-XXII/2024 dengan agenda perubahan permohonan.
Dihadapan tiga hakim agung yakni Arsul Sani sebagai ketua, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih sebagai anggota, Raymond cs juga memaparkan perbaikan permohonan uji materiil pasal-pasal Undang-Undang Pengelolaan Kependudukan (Adminduk), Hak Asasi Manusia, dan Hak Asasi Manusia. pernikahan. . , Sistem Pendidikan Nasional dan Hukum Pidana.
Usai sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Letjen. 4, Raymond dengan wajah sangat bahagia, dan mengaku tidak menganut agama apapun
Pria yang hidup lebih dari setengah abad ini konon lahir di berbagai agama.
Ayahnya berasal dari Palembang, Sumatera Selatan, menganut agama Islam, sedangkan ibunya berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara, beragama Kristen Protestan.
Meski kini orang tuanya sudah kembali ke pangkuan Tuhan, Raymond mengatakan orang tuanya hidup damai dan tidak khawatir dengan agama masing-masing.
Bahkan, dia menyebut kedua orang tua Raymond adalah orang yang taat beragama.
Sejak lahir, Raymond dan kakaknya terpecah belah karena agama.
Kakaknya masuk Kristen, sedangkan Raymond masuk Islam, yang diterima oleh ayahnya.
“Ayah saya seorang jamaah haji, dulunya ASN. Ibu saya bekerja di masjid. Ayah saya juga seorang aktivis di Muhammadiyah. Dan di Jombang, Jawa Timur, saya dibesarkan dengan budaya Islam yang tradisional dan tradisional,”. Raymond dengan geosurvey.co.id.
Raymond sejak dini mengaku memiliki landasan yang kuat terhadap tradisi agama Islam. Namun seiring bertambahnya usia, Raymond yang merupakan seorang ilmuwan mulai berpikir kritis dan akhirnya melalui proses pencarian jati dirinya dalam agama.
Memang ibadah Islam bukan lagi proses pencarian.
Ia mengaku pertama kali berpindah agama dengan mempelajari agama Rastafari, yaitu agama Ibrahim yang berasal dari Afrika dan berkembang di Jamaika pada tahun 1992 hingga 1994.
Selain itu, dalam proses pencariannya, ia juga mempelajari ajaran Kristen Protestan dan Katolik dari ibundanya dan keluarga ibunya. Gedung Konstitusi (geosurvey.co.id/Vincentius Jyetha)
Apalagi, meski masuk Islam, Raymond tak tinggal diam.
Ia mengubah mazhab atau mazhab Islam dari tasawuf menjadi tasawuf.
Mereka pun menganut paham Syiah Imamiah atau aliran Syiah dengan meyakini 12 Imam yang konon dipilih langsung oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun 2010 hingga 2017.
Semasa hidupnya, Raymond mengaku juga sempat berinteraksi dengan dunia pesantren dan membaca ajaran Islam.
Namun seiring perkembangannya, pandangannya terhadap dunia semakin berkembang sehingga seringkali menimbulkan pertanyaan, terutama tentang perlunya agama.
Hingga akhirnya, Raymond menganut agama Buddha pada tahun 2018 hingga 2021.
“Tahun 2018 sebenarnya saya disuruh mempelajari ajaran dasar agama Buddha dari tokoh Syiah,” ujarnya.
Sejarah panjang pria kelahiran tahun 1970 dalam mencari agama ini berakhir dengan ketidakpercayaan terhadap agama, khususnya 6 agama yang diakui di Indonesia.
Meski agama yang tercatat di kolom KTP masih tertulis Islam, namun ia mengaku sudah tidak menganut agama tersebut.
“Saya mempunyai banyak keraguan dan saya memutuskan untuk meninggalkan apa yang dulu saya yakini,” katanya. Masih membutuhkan Tuhan
Bahkan dalam proses mencari agama, Raymond bukan hanya tidak percaya akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Raymond mengaku tak mengingkari hal itu dan tetap percaya akan keberadaan Tuhan. Padahal, mereka tetap membutuhkan Tuhan dalam proses hidupnya.
“Iya, saya tidak sampai pada kesimpulan mengingkari keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, justru saya minta maaf, saya sangat membutuhkan Tuhan,” jelasnya.
Oleh karena itu, sebagai seorang ateis saat ini, Raymond tidak pernah menyalahkan orang-orang yang memilih agamanya sebagai landasan perjalanan hidup atau agamanya.
Ia pun meminta maaf jika ada kelompok atau agama yang tersinggung dengan pandangannya.
“Saya kehilangan keyakinan ini. Saya tidak bisa membuktikan bahwa pilihan saya benar. Saya memilih jalan ini,” ujarnya.
Raymond hanya mengaku jalan yang dipilihnya dengan tidak terikat pada dogma doktrin agama di Kini membuatnya tenang dan damai. Kuasa hukum pemohon, Teguh Sugiharto, menyampaikan pokok-pokok permohonan pengujian UU Pengelolaan Kependudukan pada kolom agama KTP dan Kartu Keluarga (KK), di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin. . 21/2). 10/2024). (MKRI)
Sebagai informasi, Raymond Kamil dan Indra Syahputra selaku pemohon dalam permohonan mengaku tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun, termasuk agama dan kepercayaan yang diakui negara Indonesia.
Pemohon mengatakan, mereka merasa kehilangan hak konstitusionalnya karena harus mengisi kolom agama dengan memilih agama atau kepercayaan, meski tidak ingin menganut suatu agama.
Para pemohon mengaku mendapat diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menolak menuliskan “tidak beragama” pada kolom agama di kartu keluarga atau KTP.
Menurut pemohon, ketentuan tes tersebut mengharuskan mereka menganut agama atau kepercayaan tertentu. Para pemohon mengatakan, kolom keagamaan bukanlah sebuah pembukaan, melainkan pilihan yang dipaksakan.
Selain itu, Pemohon I juga ditolak oleh Dinas Pendidikan.
Pemohon I tetap berkeinginan untuk menikah kembali, namun tidak mungkin Pemohon dapat menggunakan hak konstitusional tersebut kecuali ia mengaku bersalah sebagai penganut agama tertentu yang diakui.