Laporan jurnalis geosurvey.co.id Reza Deni
geosurvey.co.id, JAKARTA – Mantan Direktur Operasional PT Timah Alwin Albar dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan pencemaran timah dengan terdakwa Harvey Moeis.
Dalam persidangan, Alwin diminta menjelaskan alasan PT Timah turut serta bersama masyarakat dalam kegiatan penambangan rakyat dan menggandeng smelter swasta untuk mengolah bijih timah.
Faktanya, penambangan dilakukan di wilayah yang masih masuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah.
Secara umum, jelas Alwin, ada dua alasan mengapa ada beberapa wilayah pertambangan yang tidak digarap PT Timah padahal wilayah tersebut merupakan wilayah IUP.
Yang pertama adalah soal kepemilikan tanah, dan yang kedua adalah soal efisiensi.
Terkait lahan, jelas Alwin, ada wilayah yang berstatus kepemilikan tanah sebagai milik sah masyarakat meski masuk dalam wilayah IUP PT Timah.
Untuk menambang di kawasan tersebut, PT Timah harus melepaskan lahan masyarakat terlebih dahulu dengan mematuhi prinsip Clear and Clear (CnC).
Alwin kemudian ditanya mengapa PT Timah hanya melepas lahan masyarakat.
Masalahnya, masyarakat mau jual (tanahnya) tidak? Belum tentu mau dijual, ujarnya, dikutip Jumat (11/1/2024).
PT Timah menjawab tantangan ini dengan bermitra dengan masyarakat induk untuk melakukan penambangan.
Hal ini memunculkan kebijakan untuk bekerjasama dengan penambang rakyat melalui badan hukum berbentuk CV dengan pola asosiasi. Masyarakat pemilik lahan di wilayah IUP mendirikan PT Timah CV.
Dalam pola kemitraan ini, para penambang masyarakat dan pemilik tanah, di bawah naungan badan hukum berbentuk CV, tambang, dan smelter swasta yang telah bekerjasama dengan PT Timah membeli hasilnya.
Melalui pola ini tercipta ekosistem yang lebih terorganisir sehingga timah yang ditambang masyarakat di kawasan IUP PT Timah tidak diperdagangkan secara ilegal.
Sebaliknya pemilik tanah yang berada di wilayah IUP PT Timah tetap mempunyai hak ekonomi atas tanah yang dimilikinya.
Alwin kemudian menjelaskan alasan PT Timah kemudian menggandeng smelter swasta untuk mengolah bijih timah yang dihasilkan penambang skala kecil.
“Karena biaya pengolahannya lebih murah,” ujarnya.
Pernyataan Alwin tersebut sesuai dengan keterangan saksi pada beberapa persidangan sebelumnya, khususnya terkait biaya yang harus dibayar PT Timah kepada smelter swasta, yang sebenarnya totalnya US$4.000 per ton. Biaya-biaya ini termasuk peleburan, transportasi dan biaya lainnya.
Sedangkan untuk komponen biaya yang sama, total biaya yang harus dikeluarkan PT Timah untuk berproduksi mencapai US$6.000/ton.
Sementara itu, Alwin menegaskan, seluruh aktivitas dan keputusan bisnis yang diambil oleh direksi dan pejabat PT Timah saat itu telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berada dalam pengawasan lembaga yang berwenang, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Intinya tahun 2022 semua hasilnya (dengan kesepakatan). Kecuali 3 piutang PT Timah dan anak perusahaan. Sisanya sesuai rekomendasi BPK,” tegasnya.
Sebagai informasi, berdasarkan dakwaan jaksa, kerugian negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan tersebut berdasarkan laporan pemeriksaan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus timah yang tertuang dalam nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 pada tanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang diutarakan jaksa antara lain kerugian kerja sama penyewaan peralatan dan pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkap kerugian negara akibat kerusakan lingkungan mencapai Rp271 triliun. Begitulah cara para ahli lingkungan menghitungnya.