geosurvey.co.id – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengaku prihatin dengan laporan bahwa Korea Utara akan membantu Rusia dan Ukraina dalam perang mereka dengan Ukraina.
“Sekretaris Jenderal prihatin dengan laporan pengerahan pasukan dari Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) ke Federasi Rusia,” kata Guterres dalam pernyataannya pada 3 November. Saat itu tahun 2024. “Kyiv adalah negara yang merdeka.
Pernyataan itu muncul setelah laporan baru-baru ini bahwa 8.000 tentara Korea Utara telah tiba di provinsi Kursk, Rusia.
Menurut Guterres, kehadiran pasukan Korea Utara dalam konflik dengan Ukraina justru akan meningkatkan eskalasi konflik.
Oleh karena itu Guterres mengimbau kedua belah pihak untuk meredakan ketegangan.
“Ini akan menjadi kelanjutan perang yang sangat berbahaya di Ukraina. Segala sesuatu harus dilakukan untuk mencegah internasionalisasi konflik ini.”
Namun, Guterres tidak menjelaskan bagaimana kerja sama militer antara Moskow dan Pyongyang akan ditafsirkan berdasarkan Piagam PBB atau resolusi Dewan Keamanan yang ada.
Guterres hanya menekankan perdamaian antara kedua belah pihak.
“Saya mendukung semua upaya yang berarti demi perdamaian yang adil, abadi dan komprehensif di Ukraina.”
Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengeluarkan peringatan darurat pada 1 November 2024.
Peringatan tersebut meminta komunitas internasional untuk mengabaikan ancaman Pyongyang terhadap Ukraina.
Dia juga meminta negara-negara Barat dan Tiongkok untuk segera mengambil tindakan.
Sementara itu, Ukraina mengkritik Guterres atas kunjungan Sekretaris Jenderal PBB ke Rusia untuk menghadiri KTT BRICS pada bulan Oktober.
Sekjen PBB diketahui bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.
Zelenskyi menolak kunjungan Guterres ke Ukraina karena kehadiran Guterres. Amerika: 8.000 tentara Korea Utara mencapai Kursk
Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengatakan sekitar 8.000 tentara Korea Utara telah tiba di wilayah tersebut untuk mendukung Rusia.
“Sekitar 8.000 tentara Korea Utara telah dikirim ke provinsi Kursk di Rusia,” kata Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken pada konferensi pers pada tanggal 31 Oktober, menurut Kyiv Independent.
Pernyataan Blinken tersebut sejalan dengan laporan sebelumnya dari Badan Intelijen Militer Ukraina (HUR).
“Pasukan Korea Utara pertama dikirim ke provinsi Kursk pada akhir Oktober,” ujarnya.
Menurut HUR, Korea Utara mengirimkan sekitar 12.000 tentara ke Rusia, termasuk 500 perwira dan tiga jenderal.
Meskipun Blinken telah mengunjungi Kursk, hingga saat ini belum ada pertempuran antara pasukan Korea Utara dan Ukraina, katanya.
Namun, Blinken memperkirakan akan terjadi pertempuran antara pasukan Korea Utara dan pasukan Ukraina dalam beberapa hari mendatang.
“Tabrakan seperti itu bisa saja terjadi dalam waktu dekat,” kata Blinken.
Menurut Menteri Luar Negeri AS, Rusia mencari dukungan dari Korea Utara karena merasa tidak dapat memenangkan perang.
“Salah satu alasan Rusia beralih ke pasukan Korea Utara adalah karena keputusasaan mereka,” kata Blinken.
Biden melihat keputusan Putin menarik pasukan dari Korea Utara sebagai tanda kelemahan Rusia.
“(Vladimir) Putin telah menempatkan lebih banyak orang Rusia dalam situasi sulit di Ukraina. Sekarang dia beralih ke pasukan Korea Utara dan ini jelas merupakan tanda kelemahan,” katanya.
Blinken mengatakan tentara Korea Utara ini dilatih oleh Rusia dan akan ditempatkan di garis depan.
Rusia telah melatih pasukan Korea Utara dalam hal artileri, drone, dan operasi dasar infanteri, termasuk pembersihan ranjau, yang menurut Blinken “sepenuhnya siap” untuk digunakan di garis depan.
Namun hal ini tidak membuat sekutu Ukraina takut.
Blinken justru menganggap tentara Korea Utara sebagai simbol Ukraina.
“Jika pasukan ini terlibat dalam permusuhan atau permusuhan terhadap Ukraina, maka mereka adalah sasaran militer yang sah,” katanya.
Untuk meningkatkan pertahanan Ukraina, Blinken mengatakan Amerika Serikat akan segera mengirimkan lebih banyak bantuan militer kepada sekutunya.
(geosurvey.co.id/Putri Farah)
Artikel lain terkait Sekjen PBB, militer Korea Utara, dan konflik Rusia-Ukraina