geosurvey.co.id, JAKARTA – Diwi Ayu Darnawati, putra pemilik toko roti George Sugama Halim yang dianiaya, didampingi pengacara.
Namun pengacara Devi Ayu mencurigai Darnavati melakukan kecurangan.
Devi Ayu Darnavati terpaksa menjual satu-satunya sepeda motor miliknya untuk membayar biaya pengacaranya. DPR ingin diselidiki
Komisi III Republik Korea memanggil polisi untuk mengusut kasus penipuan terhadap Dawi Ayu Darnawati yang dilakukan pengacara.
Permohonan tersebut diajukan Anggota Komisi III DPR RI Gilang Delafarez setelah mengetahui korban tidak hanya dianiaya, tetapi juga ditipu dan diperas oleh pengacara.
“Polisi juga harus menyelidiki penipuan ini. Tampaknya korban terjatuh dari tangga, kata Gilang saat rapat umum dengan Polres Metro Jakarta Timur.
Gilang mengatakan, selain ditipu, David juga ditemui pengacara yang diklaim diutus Polda untuk membantunya dalam proses hukum.
Namun, pengacara kemudian mengakui bahwa keluarga tersangka pelaku telah mengirimnya ke kantor polisi sebelum penyelidikan dimulai.
“Reputasi polisi juga dipertaruhkan. “Setelah lama mengusut kasus ini, ada juga pengacara yang mengakui utusan polisi itu mengkhianati korban,” kata Gilang. Penjelasan Ayu Dwi
Sebelumnya, Dwi Ayu Darnavati mengaku bertemu dengan pengacara yang mengaku sebagai perwakilan Polda.
“Saya disuruh pengacara di pihak pelaku, tapi awalnya saya tidak tahu kalau saya di pihak pelaku, katanya dia anggota Polda, LBH,” kata Dwee dalam rapat dengar pendapat.
Usai pertemuan, Dwi bersama orang tuanya dan pengacaranya mendatangi Polres Metro Jakarta Timur untuk membuat laporan.
Namun saat diperiksa pengacaranya, ia mengaku sebenarnya diutus oleh bosnya yang juga merupakan ibu dari pelaku George Sugama Halim.
“Awalnya saya tidak tahu, lalu di rapat polisi saya panggil dia BAP. “Dan dia memberitahuku bahwa bosnya memberitahuku,” kata Duvay.
Setelah mengetahui hal tersebut, Dwee dan keluarganya memutuskan untuk mencari pengacara lain.
“Akhirnya ibu saya ganti pengacara di sana, tidak ada pengacara yang bisa memastikan,” jelas Dwee. Saya ingin menjual satu-satunya sepeda motor saya
Dewey juga mengatakan, pengacara baru tersebut berulang kali meminta uang dengan alasan sedang berupaya menyelesaikan kasus tersebut.
“Dia selalu balas, sedang diproses. Setiap saya dapat informasi, dia pulang dan minta uang. ‘Mama saya malah jual motornya,'” kata Dwee.
Setelah sepeda motornya terjual, Dewey mengaku tak bisa lagi menghubungi kuasa hukum.
“Setelah saya menjual sepeda motor saya, saya bertanya-tanya dan dia sudah pergi dan saya tidak bisa dihubungi,” ujarnya.
Pada 17 Oktober 2024, Dwee diduga diserang oleh putra bosnya, George.
George ditangkap polisi pada Senin pagi (16/12/2024) di Hotel Anurah Sukabumi, Sikol, Sukabumi, Jawa Barat.
Dia ditangkap setelah video dirinya menganiaya Devi viral di media sosial.
George mengira dia pergi ke luar kota untuk buang air.
Namun setelah memberi tahu orang tua tersangka, polisi baru mengetahui keberadaannya.
George didakwa melakukan penguntitan berdasarkan Pasal 351 KUHP, dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun. Complans mengkritik polisi
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsim menilai, penanganan kasus yang dilakukan Polres Metro Jakarta Timur membenarkan kecenderungan Polri yang hanya bertindak setelah kasus tersebut viral.
“Tidak ada virus, tidak ada keadilan” adalah pendekatan hukum kami saat ini, menurut pemantauan analisis berdasarkan data Compolnus.
“Seperti yang disampaikan Pak Rikwanto tadi, penyebaran virus sudah menjadi tugas pengendalian.”
Tapi yang pasti tantangan bagi Polri adalah tidak ada virus dan polisi harus bisa meresponsnya, kata Yusuf di Kompas TV, acara Sapa Pagi Indonesia, Selasa (17/12/2024).
Yusuf menegaskan, polisi harus melayani masyarakat.
Setiap pelapor harus dihubungi dan dikirimi surat pemberitahuan mengenai penyidikan dan hasil penyidikan (SP2HP).
“Jika kita melihat kasus-kasus penganiayaan terhadap pekerja pabrik roti, secara umum kita masih perlu melihat budaya pelayanannya, yang pertama dan utama adalah sebagai supervisor,” kata Yusuf.
Di sisi lain, Yusuf mengatakan, polisi di wilayah Jakarta punya banyak informasi untuk ditangani.
Kedua, berdasarkan informasi bahwa Compulens menerima 95% pengaduan dari Bareskrim Polri atau Satuan Pelaporan Polisi di Polda.
“Kalau kita analisa beberapa faktor, salah satunya adalah case backlog, khususnya di Jakarta yang sudah terbebani,” kata Yusuf.
Masifnya arus informasi membuat hal-hal yang luput dari perhatian manajemen dan masyarakat terkubur dan terjebak.
“Penyidik minimal punya 50 laporan. Kalau manajemen tidak hati-hati, banyak hal yang akan terjadi,” ujarnya.
Namun, polisi harus memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Pemimpin selalu menjadi faktor penting dalam mengendalikan tindakan.
Ini sangat serius kaitannya dengan fungsi pengawasan. Kita harus tingkatkan, sehingga kinerja penyidik perlu ditingkatkan. Meski tumpukan perkara terbebani dengan laporan polisi, tapi harus ada yang serius menjaganya. .