geosurvey.co.id, JAKARTA – Organisasi analitik dan konsultasi (CPI), dengan keahlian mendalam di bidang keuangan dan kebijakan iklim, memetakan seluruh investasi serta masuknya dana untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia terhadap bahan bakar fosil. Melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Pemetaan yang disebut dashboard interaktif ini dikembangkan dengan metode triangulasi berupa penggabungan kumpulan data dari berbagai sumber resmi.
Fitur dashboard yang interaktif memudahkan untuk melihat arus investasi berdasarkan sumber, penggunaan tematik dan alokasi sektoral, sehingga pemerintah dan pelaku industri terkait dapat mengidentifikasi titik masuk investasi, kesenjangan pembiayaan, peluang investasi baru serta rencana strategis terkait energi. di Indonesia. Agenda transisi menuju emisi nol bersih.
Direktur CPI Indonesia Tiza Mafira mengatakan Indonesia memerlukan visibilitas mengenai apakah kebijakan energi saat ini cukup untuk mempercepat investasi ramah lingkungan.
“Data menunjukkan total investasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil hampir dua kali lipat total investasi pembangkit listrik EBT. Ada peluang besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan aliran investasi tersebut, terutama dengan lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar”, ungkapnya. Tiza. Mafira. Dalam keterangannya kepada Tribun, Jumat (22/11/2024).
Berikut adalah temuan utama dashboard mengenai tren investasi ketenagalistrikan di Indonesia:
1. Rata-rata investasi EBT per tahun (2019 – 2021) sebesar USD 2,2 miliar, jauh dari kebutuhan pendanaan sebesar USD 9,1 miliar per tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai tujuan iklim Indonesia yang dituangkan dalam dokumen Indonesia ENDC.
2. Investasi yang mengalir ke EBT juga masih jauh di bawah rata-rata investasi bahan bakar fosil sebesar US$3,7 miliar per tahun.
3. Sekitar 94 persen pembiayaan bahan bakar fosil berasal dari investor swasta (84% asing, 10% dalam negeri). Hal ini menunjukkan tren peningkatan investasi fosil yang mengkhawatirkan oleh sektor swasta, khususnya modal asing.
4. Jika dibandingkan dengan efisiensi portofolio energi PLN secara keseluruhan, biaya operasional (tidak termasuk biaya penyusutan) pembangkit listrik berbahan bakar fosil per unit produksi, termasuk solar (Rp 2211 per Kwh), gas (Rp 1402), cukup tinggi. , dan batu bara (Rp526 per Kwh).
5. Portofolio PLN untuk EBT memiliki biaya operasional per unit produksi yang relatif rendah (tidak termasuk biaya penyusutan) termasuk panas bumi (Rp 924 per Kwh), air (Rp 104 Kwh) dan energi surya (Rp 1347 per Kwh). . Simulasi biaya operasional (tidak termasuk biaya penyusutan) per unit pembangkitan PLTU batubara tanpa kebijakan subsidi DMO menghasilkan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi, yaitu Rp. 1013 per kWh
6. PLN berpeluang menekan biaya operasional unit produksi energi surya menjadi Rp 296 per Kwh dengan melipatgandakan faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga surya hingga setara dengan faktor kapasitas rata-rata pembangkit listrik tenaga surya. Di Asia Tenggara.
“Meskipun terdapat kesenjangan yang signifikan antara realisasi nilai investasi EBT dan komitmen iklim Indonesia, hasil-hasil penting ini menunjukkan peluang strategis bagi Indonesia untuk mengalihkan aliran investasi ke perekonomian berkelanjutan dan rendah karbon,” kata Tiza Mafira.
Menurut Teesa, terdapat peluang besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan aliran investasi tersebut, terutama dengan lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar.
“Dengan data investasi terperinci di dashboard kami, kebijakan dan investasi dapat dioptimalkan untuk membangun masa depan Indonesia yang aman, kompetitif, dan rendah karbon,” jelas Tiza Mafira.